Selasa, 12 Agustus 2008

UKM

Pola kemitraan usaha merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk memberdayakan usaha kecil, menangah dan koperasi, termasuk sebagai upaya untuk menciptakan sinergi dengan kegiatan penanaman modal melalui proyek PMA (Penananman Modal Asing) dan PMDN (Penananaman Modal Dalam Negeri). Hal tersebut juga selaras dengan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, yaitu : ‘mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta dan Badan Usaha Milik Negara, serta antara usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memeperkuat struktur ekonomi nasional.

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan motor penggerak perekonomian Indonesia setelah peristiwa keterpurukan ekonomi terjadi pada tahun 1998. Peran UKM dan koperasi dalam perekonomian Indonesia semakin meningkat terutama setelah krisis 1998. Di saat perbankan menghadapi kesulitan untuk mencari debitur yang tidak bermasalah, UKM dan koperasi menjadi alternatif penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan statistik BPS tahun 2000, UKM (kurang lebih 40 juta unit) mendominasi lebih dari 90% total unit usaha dan menyerap angkatan kerja dengan prosentase yang hampir sama. Data BPS juga memperkirakan 57% PDB bersumber dari unit usaha ini dan menyumbang hampir 15% dari ekspor barang Indonesia. Ditinjau dari reputasi kreditnya, UKM juga mempunyai prestasi yang cukup membanggakan dengan tingkat kemacetan kredit yang relatif kecil. Pada akhir 2002, kredit bermasalah UKM (NPL) hanya 3,9%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan yang mencapai 10,2%. Perkembangan sektor UKM dan koperasi selama ini sungguh menggembirakan.

Ditengah-tengah proses restrukturisasi sektor korporat dan BUMN yang berlangsung lamban, sektor UKM dan koperasi telah menunjukkan perkembangan yang terus meningkat dan bahkan mampu menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, kemajuan yang dicapai dalam restrukturisasi di sektor keuangan, khususnya industri perbankan, telah pula mampu menyediakan kebutuhan pembiayaan dengan tingkat pertumbuhan dan porsi yang lebih besar untuk UKM dan koperasi.[1] Contohnya saja pada tahun 2005 BI mentargetkan pertumbuhan kredit UKM mencapai 60,4 triliun rupiah.[2]

Perkembangan inilah yang menjadi pendorong bagi peningkatan pertumbuhan dan peran sektor UKM dan koperasi dalam perekonomian nasional. Ke depan, momentum ini harus dipertahankan dan ditingkatkan. Pertumbuhan dan peran sektor UKM dan koperasi didalam perekonomian nasional harus terus ditingkatkan, tidak saja karena ketangguhannya dalam menghadapi berbagai kejutan ekonomi tetapi juga kemampuannya yang lebih besar dalam menyediakan lapangan kerja dan mengatasi masalah kemiskinan. Apalagi dengan komitmen dan strategi yang lebih kuat dari Pemerintah yang baru, iklim investasi dan kegairahan usaha dalam perekonomian nasional, termasuk sektor UKM dan koperasi, diyakini akan jauh lebih baik. Didukung pula dengan adanya Keppres no. 56 tahun 2002, yang menekankan tentang restrukturisasi kredit UKM menjadikan optimisme prospek perkembangan sektor UKM dan koperasi ke depan seperti ini jelas memerlukan penguatan peran dan strategi pembiayaan.

Pada saat ini seluruh perusahaan di dalam negeri maupun perusahaan luar negeri tengah mengimplementasikan program CSR (Coorporate Social Responsibility), maka hal ini tentu saja akan lebih mendukung program pemerintah guna mengembangkan sektor UKM dan Koperasi. Program CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan domestik maupun asing telah banyak dilakukan dalam bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat ,perbaikan lingkungan dan peningkatan kegiatan perekonomian.



[1] Warjiyo, P. 2004. Pembiayaan pembangunan sektor umkm: perkembangan dan strategi ke depan. Infokop. No. 25 Tahun XX.

[2] Wahyuni, A. 2005. BI: Target Penyaluran Kredit UMKM Rp 60,4 Triliun. Tempo Interaktif. 15 September 2005.

Senin, 11 Agustus 2008

Subsidi BBM

Subsidi energi merupakan salah satu langkah kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah mencakup seluruh bahan bakar yang berbahan dasar minyak bumi (BBM) dan Energi Listrik (PLN). Besaran subsidi yang dikeluarkan untuk masing-masing sektor tersebut pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 68,6 triliun untuk subsidi BBM dan Rp 25,8 triliun untuk energi listrik (Pikiran Rakyat, Nopember 2006).

Melihat besaran subsidi yang sangat besar (mencapai Rp 94,4 triliun) tersebut, maka diperlukan adanya suatu sistem penyaluran subsidi yang tepat sasaran. Berdasarkan pengalaman subsidi BBM sebelumnya, subsidi BBM lebih terkonsentarsi pada minyak tanah, karena banyaknya rumah tangga golongan bawah dan industri kecil yang menggunakan bahan bakar jenis ini untuk keperluan rumah tangga dan produksi.

Pada tahun 2003, yang didasari oleh hasil survei yang dilakukan Sucofindo dan Surveyor Indonesia menunjukkan bahwa terjadi kebocoran subsidi minyak tanah sebesar Rp 5,6 triliun. Subsidi yang sampai kepada kelompok yang berhak (rumah tangga golongan bawah dan industri kecil) hanya sebesar 62,8 persen dari nilai subsidi sebesar Rp 15,2 triliun yang dikeluarkan pemerintah pada waktu itu untuk bahan bakar minyak tanah (Kompas, Pebruari 2003).

Kebocoran ini disebabkan terjadinya target error dari distribusi minyak tanah bersubsidi tersebut. Menurut LPEM-FEUI (2004) Kelompok masyarakat yang berada pada decile paling atas (masyarakat paling kaya) menikmati subsidi BBM (solar, bensin, minyak tanah) rata-rata sebesar Rp 393.000 per tahun, sementara itu kelompok masyarakat yang berada pada decile paling bawah (masyarakat paling miskin) hanya menikmati rata-rata sebesar Rp 72.500 per tahun. Masyarakat paling kaya menikmati subsidi BBM lebih dari lima kali lipat lebih besar daripada masyarakat paling miskin, hal serupa juga disampaikan oleh Bappenas (2005), secara umum 82% subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah hingga teratas dan khusus untuk subsidi minyak tanah 75% justru dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah hingga teratas.

Isdijoso (2000) menyatakan bahwa pricing policy BBM yang ditempuh pemerintah, menimbulkan paling tidak 5 bentuk dampak negatif, yaitu; (i) terjadi target error dalam pemberian subsidi BBM, sebesar 25%, 40%, 35,2%, 92% dan 93% masing-masing untuk jenis premium, solar, minyak tanah, minyak bakar dan minyak diesel; (ii) terjadi inefisiensi dalam penggunaan dan penyelundupan BBM; (iii) beban APBN semakin berat; (iv) terjadi distorsi harga pada barang dan jasa yang menggunakan BBM sebagai input produksi; (v) Pertamina terhambat untuk melakukan ekspansi usaha.

Secara umum, penurunan subsidi BBM masih memiliki dampak positif hingga tingkat penurunan 20%. Lebih dari itu, kenaikan harga BBM sebagai implikasi dari penurunan subsidi akan menimbulkan berbagai dampak negatif yang cukup besar terhadap makroekonomi, kesejahteraan rumah tangga maupun aktifitas produksi dalam perekonomian sektoral. Namun demikian, penyesuaian yang dilakukan konsumen dengan adanya penurunan subdisi BBM ini akan menghasilkan dampak yang lebih positif dibandingkan jika tidak dilakukan penyesuaian.

Pada kelompok rumah tangga, kenaikan harga BBM hanya berpengaruh negatif pada kelompok rumah tangga petani menengah dan kaya (pemilik lahan >2 Ha) dengan menurunnya tingkat konsumsi riil masing-masing sebesar 0,055% dan 0,127%. Hal ini dipengaruhi oleh tempat tinggal kelompok tersebut yang umumnya terletak di desa-kecamatan, yangmana relatif sulit untuk melakukan substitusi bahan bakar.

Selain fakta-fakta yang diungkap di atas, terdapat pula gap yang besar antara harga minyak tanah pada level produsen (Pertamina) hingga level konsumen akhir (rumah tangga), misalnya saja pada tahun 2005 harga jual minyak tanah di Pertamina mencapai harga Rp 2000/liter, dan harga eceran yang sampai pada konsumen rumah tangga mencapai Rp 2400/liter, dan jika mengamati ke daerah-daerah yang sulit dijangkau harga eceran minyak tanah dapat mencapai Rp 3500/liter. Hal ini dimungkinkan karena jalur distribusi yang ada pada saat ini yang masih sangatlah panjang, sehingga konsumen akhir sangat terbebani dengan adanya biaya distribusi (biaya transportasi)

Potensi UKM di Indonesia

Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Melalui kerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dapat diperoleh gambaran tentang peranan UKM dalam perekonomian nasional ditinjau dari indikator makro ekonomi.

Eksistensi dan peran UKM yang pada tahun 2006 mencapai 48,93 juta unit usaha, dan merupakan 99,9% dari pelaku usaha nasional, dalam tata perekonomian nasional sudah tidak diragukan lagi, dengan melihat kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, nilai ekspor nasional, dan investasi nasional (Kusumo, 2007 dalam Statistik UKM, 2007)

Perkembangan jumlah UKM periode 2005-2006 mengalami peningkatan sebesar 3,88 persen yaitu dari 47.102.744 unit pada tahun 2005 menjadi 48.929.636 unit pada tahun 2006.

Sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (3) Industri Pengolahan; (4) Jasa-jasa; serta (5) Pengangkutan dan Komunikasi dengan perkembangan masing-masing sektor tercatat sebesar 53,57 persen, 27,19 persen, 6,58 persen, 6,06 persen dan 5,52 persen.

Pada tahun 2005, peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.491,06 triliun atau 53,54 persen, kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 1.053,34 triliun atau 37,82 persen dan UM sebesar Rp. 437,72 triliun atau 15,72 persen dari total PDB nasional, selebihnya adalah usaha besar (UB) yaitu Rp. 1.293,90 triliun atau 46,46 persen.

Sedangkan pada tahun 2006, peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.778,75 triliun atau 53,28 persen dari total PDB nasional, mengalami perkembangan sebesar Rp. 287,68 triliun atau 19,29 persen dibanding tahun 2005. Kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 1.257,65 triliun atau 37,67 persen dan UM sebesar Rp. 521,09 triliun atau 15,61 persen, selebihnya sebesar Rp. 1.559,45 triliun atau 46,72 persen merupakan kontribusi UB.

Pada tahun 2006, UKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 85.416.493 orang atau 96,18 persen dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, jumlah ini meningkat sebesar 2,62 persen atau 2.182.700 orang dibandingkan tahun 2005. Kontribusi UK tercatat sebanyak 80.933.384 orang atau 91,14 persen dan UM sebanyak 4.483.109 orang atau 5,05 persen. Untuk UK sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebanyak 37.965.878 orang atau 46,91 persen dari total tenaga kerja yang di serap .

Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 73.403 orang atau 0,19 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki penyerapan tenaga kerja terbesar pada UM adalah sektor Industri Pengolahan yaitu sebanyak 1.827.073 orang atau 40,75 persen .

Pada tahun 2005, peran UKM dalam pembentukan investasi nasional menurut harga konstan tahun 2000 tercatat sebesar Rp. 178,05 triliun atau 45,29 persen dari total investasi nasional yang sebesar Rp. 393,18 triliun. Kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 83,53 triliun atau 21,25 persen dan UM sebesar Rp. 94,52 triliun atau 24,04 persen.

Pada tahun 2006, peran UKM mengalami peningkatan sebesar Rp. 4,66 triliun atau 2,62 persen menjadi Rp. 182,71 triliun atau 45,16 persen dari total investasi nasional atas harga konstan tahun 2000 yang sebesar Rp. 404,61 triliun. Peran UK tercatat sebesar Rp. 85,63 triliun atau 21,16 persen, sedangkan UM sebesar Rp. 97,09 triliun atau 24,00 persen dan selebihnya adalah UB (Statistik UKM, 2007).

Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Melalui kerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dapat diperoleh gambaran tentang peranan UKM dalam perekonomian nasional ditinjau dari indikator makro ekonomi.

Eksistensi dan peran UKM yang pada tahun 2006 mencapai 48,93 juta unit usaha, dan merupakan 99,9% dari pelaku usaha nasional, dalam tata perekonomian nasional sudah tidak diragukan lagi, dengan melihat kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, nilai ekspor nasional, dan investasi nasional (Kusumo, 2007 dalam Statistik UKM, 2007)

Perkembangan jumlah UKM periode 2005-2006 mengalami peningkatan sebesar 3,88 persen yaitu dari 47.102.744 unit pada tahun 2005 menjadi 48.929.636 unit pada tahun 2006.

Sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (3) Industri Pengolahan; (4) Jasa-jasa; serta (5) Pengangkutan dan Komunikasi dengan perkembangan masing-masing sektor tercatat sebesar 53,57 persen, 27,19 persen, 6,58 persen, 6,06 persen dan 5,52 persen.


Pada tahun 2005, peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.491,06 triliun atau 53,54 persen, kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 1.053,34 triliun atau 37,82 persen dan UM sebesar Rp. 437,72 triliun atau 15,72 persen dari total PDB nasional, selebihnya adalah usaha besar (UB) yaitu Rp. 1.293,90 triliun atau 46,46 persen.

Sedangkan pada tahun 2006, peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.778,75 triliun atau 53,28 persen dari total PDB nasional, mengalami perkembangan sebesar Rp. 287,68 triliun atau 19,29 persen dibanding tahun 2005. Kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 1.257,65 triliun atau 37,67 persen dan UM sebesar Rp. 521,09 triliun atau 15,61 persen, selebihnya sebesar Rp. 1.559,45 triliun atau 46,72 persen merupakan kontribusi UB.

Pada tahun 2006, UKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 85.416.493 orang atau 96,18 persen dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, jumlah ini meningkat sebesar 2,62 persen atau 2.182.700 orang dibandingkan tahun 2005. Kontribusi UK tercatat sebanyak 80.933.384 orang atau 91,14 persen dan UM sebanyak 4.483.109 orang atau 5,05 persen. Untuk UK sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebanyak 37.965.878 orang atau 46,91 persen dari total tenaga kerja yang di serap .

Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 73.403 orang atau 0,19 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki penyerapan tenaga kerja terbesar pada UM adalah sektor Industri Pengolahan yaitu sebanyak 1.827.073 orang atau 40,75 persen .





Pada tahun 2005, peran UKM dalam pembentukan investasi nasional menurut harga konstan tahun 2000 tercatat sebesar Rp. 178,05 triliun atau 45,29 persen dari total investasi nasional yang sebesar Rp. 393,18 triliun. Kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 83,53 triliun atau 21,25 persen dan UM sebesar Rp. 94,52 triliun atau 24,04 persen.

Pada tahun 2006, peran UKM mengalami peningkatan sebesar Rp. 4,66 triliun atau 2,62 persen menjadi Rp. 182,71 triliun atau 45,16 persen dari total investasi nasional atas harga konstan tahun 2000 yang sebesar Rp. 404,61 triliun. Peran UK tercatat sebesar Rp. 85,63 triliun atau 21,16 persen, sedangkan UM sebesar Rp. 97,09 triliun atau 24,00 persen dan selebihnya adalah UB (Statistik UKM, 2007).