Subsidi energi merupakan salah satu langkah kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah mencakup seluruh bahan bakar yang berbahan dasar minyak bumi (BBM) dan Energi Listrik (PLN). Besaran subsidi yang dikeluarkan untuk masing-masing sektor tersebut pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 68,6 triliun untuk subsidi BBM dan Rp 25,8 triliun untuk energi listrik (Pikiran Rakyat, Nopember 2006).
Melihat besaran subsidi yang sangat besar (mencapai Rp 94,4 triliun) tersebut, maka diperlukan adanya suatu sistem penyaluran subsidi yang tepat sasaran. Berdasarkan pengalaman subsidi BBM sebelumnya, subsidi BBM lebih terkonsentarsi pada minyak tanah, karena banyaknya rumah tangga golongan bawah dan industri kecil yang menggunakan bahan bakar jenis ini untuk keperluan rumah tangga dan produksi.
Pada tahun 2003, yang didasari oleh hasil survei yang dilakukan Sucofindo dan Surveyor Indonesia menunjukkan bahwa terjadi kebocoran subsidi minyak tanah sebesar Rp 5,6 triliun. Subsidi yang sampai kepada kelompok yang berhak (rumah tangga golongan bawah dan industri kecil) hanya sebesar 62,8 persen dari nilai subsidi sebesar Rp 15,2 triliun yang dikeluarkan pemerintah pada waktu itu untuk bahan bakar minyak tanah (Kompas, Pebruari 2003).
Kebocoran ini disebabkan terjadinya target error dari distribusi minyak tanah bersubsidi tersebut. Menurut LPEM-FEUI (2004) Kelompok masyarakat yang berada pada decile paling atas (masyarakat paling kaya) menikmati subsidi BBM (solar, bensin, minyak tanah) rata-rata sebesar Rp 393.000 per tahun, sementara itu kelompok masyarakat yang berada pada decile paling bawah (masyarakat paling miskin) hanya menikmati rata-rata sebesar Rp 72.500 per tahun. Masyarakat paling kaya menikmati subsidi BBM lebih dari lima kali lipat lebih besar daripada masyarakat paling miskin, hal serupa juga disampaikan oleh Bappenas (2005), secara umum 82% subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah hingga teratas dan khusus untuk subsidi minyak tanah 75% justru dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah hingga teratas.
Isdijoso (2000) menyatakan bahwa pricing policy BBM yang ditempuh pemerintah, menimbulkan paling tidak 5 bentuk dampak negatif, yaitu; (i) terjadi target error dalam pemberian subsidi BBM, sebesar 25%, 40%, 35,2%, 92% dan 93% masing-masing untuk jenis premium, solar, minyak tanah, minyak bakar dan minyak diesel; (ii) terjadi inefisiensi dalam penggunaan dan penyelundupan BBM; (iii) beban APBN semakin berat; (iv) terjadi distorsi harga pada barang dan jasa yang menggunakan BBM sebagai input produksi; (v) Pertamina terhambat untuk melakukan ekspansi usaha.
Secara umum, penurunan subsidi BBM masih memiliki dampak positif hingga tingkat penurunan 20%. Lebih dari itu, kenaikan harga BBM sebagai implikasi dari penurunan subsidi akan menimbulkan berbagai dampak negatif yang cukup besar terhadap makroekonomi, kesejahteraan rumah tangga maupun aktifitas produksi dalam perekonomian sektoral. Namun demikian, penyesuaian yang dilakukan konsumen dengan adanya penurunan subdisi BBM ini akan menghasilkan dampak yang lebih positif dibandingkan jika tidak dilakukan penyesuaian.
Pada kelompok rumah tangga, kenaikan harga BBM hanya berpengaruh negatif pada kelompok rumah tangga petani menengah dan kaya (pemilik lahan >2 Ha) dengan menurunnya tingkat konsumsi riil masing-masing sebesar 0,055% dan 0,127%. Hal ini dipengaruhi oleh tempat tinggal kelompok tersebut yang umumnya terletak di desa-kecamatan, yangmana relatif sulit untuk melakukan substitusi bahan bakar.